Laman

Kamis, 30 Agustus 2012

Apa dan Siapa Itu Bhujangga?


Jumat, 04 Mei 2012

SEKAPUR SIRIH DIANTARA SENGGU DAN SANGGUHU {SANG GURU}

LATAR BELAKANG 

                Tulisan ini hanya bertujuan meluruskan sesuatu hal yang sedikit agak keliru,,dimana bujangga itu sering dijuluki senggu yg dterjemahkan “kesengguh”,,.itu tidak benar, yang benar adalah senghu berasal dari kata Sang Guru,menjadi Sang Guhu,.,sedangkan mitos yg mengisahkan tentang bujangga senggu itu,menurut pendapat saya hanyalah karangan seseorang jaman dahulu,,., Diamping itu Saya membuat tulisan ini hanya karena ingin bertukar pengalaman dengan para semeton. mungkin diantara para semeton sering mendengar pertanyaan berikut: " napi sorohe gus?" lalu kalau kita jawab: " tiang bujangga waisnawa nike" respon dari penanya biasanya:"ooo nak senggu ..." atau mungkin pertanyaan seperti ini: "napi sorohe gus?" biasanya kita jawab, Tiang bhujangga waisnawa nike" terus ditanya lagi, " bhujangga waisnawa ape bhujangga senggu? nah loh, emanga ada berapa bhujangga ya...
               Saya pribadi tidak pernah ambil pusing dikatakan sebagai senggu karena saya pikir saya tidak perlu terlalu jauhlah mempersalahkan hal tersebuat apalagi kalau ternyata pertanyaan itu hanya sekedar basa-basi saja. Tetapi kadang saya akan menjawab, " bukan saya bukan senggu tapi bhujangga waisnawa" paling di respon," loh emang beda ya?" nah kalau responnya sudah begitu bakal panjang ceritanya. lihat-lihat dulu orang ini bisa diajak untuk berdialog tidak, atau hanya tipikal orang yang kekeuh dan kolot. Tetapi sejujurnya, di dalam hati saya selalu berpikir, mengapa selalu bhujangga waisnawa diidentikkan dengan senggu mengapa juga daerah perumahan atau banjar yang dihuni oleh mayoritas semeton bhujangga waisnawa disebut sengguan. setalah lama mencari literatur dan referensi akhirnya saya menermukan penjelasan tentang hal tersebut. SENGGU ,SANGGUHU,APA SANG GURU? 
                      Kata senggu berasal dari kata sengguh yang berarti dikira. perkataan ini menjadi rancu dengan kata sangguhu yang berarti sang guru atau sang guhung ( sebutan ini tidak terlepas dari peranan leluhur bhujangga waisnawa yang menjadi pembimbing atau guru spiritual). demikan juga halnya dengan kata sengguan/sengguhan yang dapat berarti tempatnya i senggu/ i sengguh, dan kata sangguhuan yang artinya karang setra/suci. hal ini tidak terlepas dari tempat tinggal ida bhujangga waisnawa yang selalu berdekatan dengan karang tenget atau karang setra karena sang bhujangga mempunyai kemampuan sebagai pamahayu jagat, pangalebur lan panglukat sahananing leteh (melebur dang menyucikan segala kekotoran). penyebutan kata senggu atau sengguh berasal dari kisah pada jaman Dalem waturenggong di klungkung. pada zaman pemerintahan dalem waturenggong, salah satu purohita beliau dari Bhujangga waisnawa adalah Ida Bhujangga Guru. selain sebagai purohita, Ida bhujangga juga berperan sebagai Guru bagi putra-putri sang raja. salah satu putri dari dalem waturenggong bernama Dewa Ayu laksmi ketika beranjak dewasa akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan Ida Bhujangga Guru.
                          Hal ini mengundang kemarahan dari Dalem Waturenggong, karena pernikahan terjadi diluar sepengetahuan beliau dan apalagi pernikahan tersebut terjadi antara guru dan murid. kemarahanan dalem ditunjukkan dengan perintah untuk membunuh ida bhujangga guru mengetahui hal tersebut Ida bhujangga Guru segera "kesah" atau melarikan diri ke daerah pegunungan di tabanan (jatiluwih) tempat tinggal ayahnya yaitu Ida bhujangga Angker atau Ida Resi Canggu.kepergian ida bhujangga guru dari gelgel (klungkung) masih meninggalkan putra beliau dari istri pertama. putra beliau bernama ida bhujangga alit adiharsa. suatu ketika, Dalem waturenggong mengadakan upacara yadnya. beliau mendengar tentang keberadaan danghyang nirartha yang baru datang dari jawa. namun ketika danghyang nirartha "dipendak" atau dijemput, danghyang nirartha sedang tidak berada di pasraman. yang ada saat itu adalah I Kelik yang merupakan salah satu pengikut Danghyang Nirartha. I kelik ini mengaku sebagai Danghyang Nirartha, maka diajaklah dia ke istana. lalu ketika I kelik yang dikira danghyang nirartha ini melantunkan puja selayaknya pandita, datanglah Danghyang Nirartha dan Ida Bhujangga Alit Adiharsa. Mengetahui hal ini membuat i Kelik menjadi ketakutan dan melarikan diri. Dalem menjadi marah karena merasa dibohongi, lalu diperintahkan untuk mengejar dan menangkap I Kelik yang telah membohongi raja. akan tetapi atas permintaan Danghyang Nirartha, I Kelik akhirnya diampuni oleh dalem. I Kelik kemudian disebut I Sengguh yang artinya yang dikira. dalam perkembangan selanjutnya di Istana, oleh karena kemarahan Dalem Waturenggong terhadap Ida Bhujangga Guru, Ida bhujangga Alit Adiharsa menjadi tidak dianggap. Segala nasehat dari Ida bhujangga tidak pernah diperhatikan. Ida Bhujangga Alit merasa tidak nyaman dan akhirnya memilih untuk ikut "kesah" dari gelgel.
                     Dengan perginya sang Bhujangga maka dikatakan bahwa Ida Bhujangga telah moksah (padahal kesah yang artinya pergi) lama-kelamaan kondisi negara semakin kacau karena purohita yang bertugas sebagai pemarusudha gumi atau pemahayu jagat sudah tidak ada. hal ini membuat ida dalem menjadi resah. atas saran Danghyang Nirartha, Dalem akhirnya setuju untuk mengangkat I Kelik sebagai pengganti Ida Bhujangga. I Kelik kemudian dijari oleh Danghyang Nirartha puja-puja weda sebagai dang katrini. dan juga semua pusaka dan piagem-piagem sang bhujangga yang telah kesah diberikan kepada i Kelik. dan selanjutnya I Kelik "ditapak" (ditasbihkan) oleh Danghyang Nirartha sebagai Jero Gede (menurut Lontar Tutur kudalini). 
                          Maka sejak itu peranan Ida Bhujangga diambil alih oleh Jero Gede (senggu). dan berita yang beredar bahwa Ida Bhujangga telah moksah, sudah tidak ada lagi preti sentananya. padahal sebenarnya Ida bhujangga hanya pergi dari klungkung (pusat kerajaan bali pada waktu itu). sudah jelaslah perbedaan antara Bhujangga waisnawa dan senggu Bhujangga waisnawa merupakan keturunan dari Ida Resi Makandeya dan sudah ada berabad-abad di bali jauh sebelum kedatangan majapahit ke bali. sementara senggu ada sejak pemerintahan Dalem Waturenggong, yaitu zaman setelah kedatangan Majapahit ke Bali. Ida Resi Bhujangga "ditapak" oleh Ida Resi Nabe Bhujangga Waisnawa, sementara Jero Gede "ditapak" oleh Ida Nabe Siwa. setelah kejadian di Gelgel tersebut maka peranan bhujangga waisnawa terpinggirkan ditambah lagi setelah Danghyang Nirartha atas restu Dalem Waturenggong, merestrukturisasi kehidupan masyartakat dengan mengeluarkan sistem kasta. dimana yang disebut golongan Brahmana adalah Danghyang Nirartha beserta keturunannya dan Danghyang Astapaka (saudara danghyang nirartha) beserta turunannya. Ksatria adalah Raja dan keluarganya, Arya adalah para patih dan punggawa kerajaan dan diluar ketiga golongan itu adalah Sudra. 
                        Demikianlah cerita tentang Bhujangga Waisnawa dan Senggu, semoga bermanfaat. Tulisan ini bukan bertujuan untuk mendiskreditkan dan mejelekkan golongan tertentu. Melainkan untuk menambah wawasan dan pengetahuan saja khususnya untuk para semeton bhujangga waisnawa. marilah para semeton bhujangga waisnawa tetap teguh memegang sasana ke bhujanggaan, yaitu untuk selalu arif dan bijaksana namun rendah hati. Bu artinya Bumi/pertiwi, Ja artinya air suci, Ngga artinya nagasari, sarining sekar anyuksemaning tirta jati utama maka perihaning wong kabeh (lontar kerta bhujangga). Bhujangga adalah air atau tirta suci yang dapat membersihkan bumi dan segala isinya atau dengan kata lain adalah sebagai pengayom.

NAPAK TILAS LELUHUR BHUJANGGA WAISNAWA

                       Semua kehidupan di dunia ini tidak bisa dipisahkan dari perjalanan para leluhur. Di bali leluhur merupakan tangga utama dalam mencapai Tuhan. Kehilangan jejak leluhur merupakan salah satu hal yang mengakibatkan para saudara di bali banyak mengalami permasalahan dalam kehidupan dunia nyata. Permasalahan ini ternyata juga banyak terjadi pada warih bhujangga waisnawa. Oleh karena itu, dengan segala kekurangan saya mencoba menguraikan jejak perjalanan para leluhur bhujangga, smoga bisa menambah dan membuka wawasan para semeton terhadap jejak perjalanan para Leluhur. I. Jejak Perjalanan Maha Rsi Markhandeya Perjalanan maharsi markhandeya di tanah bali dimulai dari : 1. Pura Rambut Siwi Lokasi Pertapaan Beliau ada di tebing depan pura melanting Tempat ida rsi membuat benteng/perlindungan bali terutama dalam Menyeleksi orang-orang yang hendak masuk ke bali (dari jawa). 2. Pura Tledu Nginyah Tempat Ida Maha Rsi bertapa dan membuat pesraman yang pertama. Beliau mampir ke tempat ini karena tempat ini mirip sekali dengan pertapaan beliau di Gunung Raung Jawa yaitu Gumuk Kancil. Oleh karena itu tempat ini dikenal dengan Gumuk Kancil Bali. Ditempat ini beliau bertapa untuk memohon petunjuk ke arah mana beliau harus melanjutkan perjalanan supaya bisa menemukan pusat sinar di bali yang beliau lihat dari gunung raung jawa. Slama bertapa disini beliau juga membentuk pesraman untuk melatih dan meningkatkan kemampuan dari pengikut2 beliau yang akan diajak ngatur ayah di bali. Dari hasil bertapa disini kemudian beliau mendapat petunjuk untuk menyusuri aliran sungai sampai ke hulu dan ketemu suatu tempat yang tinggi (bukit). Bukit yang tinggi inilah yang kemudian hari dikenal dengan Gunung Bhujangga ( Puncak Sepang Bujak). 3.
                     Gunung Bhujangga (Puncak Sepang Bujak) Di tempat inilah ida Maharsi Markhandeya bertapa supaya bisa menemukan pusat sinar di Bali yang beliu lihat dari Gunung Raung Jawa. Setelah bertapa sekian lama di Gunung Bhujangga barulah beliau mendapatkan petunjuk yang pasti ke arah mana beliau harus berjalan untuk dapat menemukan Pusat Sinar Suci di Bali. Jadi di gunung bhujangga inilah pertama kali beliau bisa melihat gambaran pulau bali seutuhnya melalui penglihatan mata batin. Oleh karena di tempat ini beliau pertama kali melihat bali seutuhnya maka tempat ini pulalah yang beliu pilih untuk melihat bali untuk terakhir kalinya dalam hidup beliau. Dengan kata lain, Puncak Gunung Bhujangga merupakan tempat Ida Maha Rsi Markhandeya Moksa. Beliau Moksa di atas Batu Hitam yang sampai saat sekarang ini masih ada di Puncak Gunung Bhujangga. 4. 
                         Dari Gunung Bhujangga banyak tempat yang beliau singgahi hingga beliau sampai di Gunung Agung. Tempat-tempat tersebut, antara lain : #Puncak Manik Pulaki, disini berstana Ida Ratu Niang Bhujangga Suci dan Ida Ratu Niang Rsi Bhujangga Sakti. Ida Ratu Niang Bhujangga Suci ini lah yang mengajarkan tentang perdagangan di bali. Dan Beliau inilah guru dari Ratu Ayu Mas Melanting. Beliau ini juga yang memiliki Kendi Uang yang ada di Melanting yang pada prakteknya akan disebarkan ol Ratu Ayu Mas Melanting kpd para pedangan di bali. Ida Rt Niang Rsi Bhu jangga sakti, merupakan orang yang mengajarkan tentang pembuatan Baju dari kraras (daun pisang). Beliau berdua juga yang meletakkan Pondasi pembuatan banten di bali. #Pura Penegil Dharma, pura ini disinggahi ida rsi pada putaran kedua per jalanan beliau mengelilingi bali. Di tempat ini ida rsi, diminta tinggal ol seorang anak keturunan bangsawan untuk mengajarkan tentang penget uan agama dan pengetahuan kehidupan. Dari tempat inilah cikal bakal ke rajaan pertama yang ada di Bali. #Pura Ponjok Batu, disini beliau hanya singgah sebentar. Perjalanan ida di tempat ini kemudian akan dikembangkan lebih lanjut oleh ida rsi Madura. Masih banyak tempat-tempat yang dikunjungi beliau dalam perjalanan Menuju Besakih yang kelak kemudian hari akan menjadi Pura-Pura Jagat di Bali 5. Gunung Agung (Pura Besakih) Di tempat ini maharsi markhandeya melakukan pertapaan untuk nindaklanjuti petunjuk yang beliau dapatkan di Gunung Raung Jawa tentang bagaimana membuka alam bali supaya dapat dibentuk dan di diami oleh manusia. hasil pertapaan beliau yang pertama beliau menda pat petunjuk untuk menanam panca datu di lereng gunung agung yang sekarang menjadi tempat pura pengubengan. Di tempat ini beliau pertam a kali melakukan perabasan hutan dan kemudian menanam panca datu. akan tetapi setelah hutan di rabas dan beliau menanam panca datu, yang terjadi adalah para pengikut beliau banyak yang sakit bahkan hingga me ninggal dunia. oleh karena itu beliau bertapa lagi dan mendapat petunjuk bahwa tempat yang beliau pilih untuk menanam panca datu salah.
                    Kemu dian beliau bertapa kembali untuk memohon dimana tempat yang tepat untuk menanam panca datu. akhirnya beliau mendapat petunjuk bahwa tempat itu ada di kaki gunung Agung yang nantinya di kenal dengan pura Basukihan. Akan tetapi karena proses penanaman panca datu ini memerlu kan banyak orang serta bahan2 yang utama. Maka sebelum menanam panca datu ini beliau memutuskan kembali pulang ke jawa untuk memper siapkan segala keperluan yang akan di pake untuk prosesi penanaman panca datu. Setelah segala keperluan yang dibutuhkan untuk prosesi pe nanaman panca datu ini selesai maka beliau kemudian kembali ke bali. akan tetapi sesampainya beliau dibali, beliau tidak langsung menanam panca datu, melainkan beliau mengundang dulu semua pendeta-pendeta yang beliau temui dan kenal dalam perjalanan beliau dari India sampai ke bali. Para undangan dari berbagai daerah dan negara ini kemudian beliau buatkan tempat-tempat peristrirahatan yang sekarang ini dikenal dengan pura-pura penyangga pura besakih seperti : pura batu madeg, kiduling kreteg, ulun kulkul, pura gelap, pura kongco dll. Pura-pura ini disamping sebagai tempat peristirahatan, lokasi-lokasi pura ini juga merupakan temp at menaruh segala kelengkapan prosesi penanaman panca datu di pura Basukihan. 
                Setelah semua undangan dan kelengkapan siap, barulah prosesi penanaman panca datu dilakukan di lokasi pura Basukihan Sekarang. 6. Pura Basukihan Pura ini merupakan tempat ida maharsi markhandeya menanam panca batu yang berfungsi untuk membuka pertiwi tanah bali supaya bali bisa ditempat manusia. Penanaman panca datu pada waktu tersebut dilakuka n oleh ida rsi dengan didoakan oleh semua pendeta yang diundang untuk hadir ol ida dan disaksikan oleh seluruh penduduk bali pada waktu itu. Pura Basukihan inilah sebenarnya merupakan cikal bakal pura besakih yg sekarang, dengan kata lain pura basukihan inilah pura Besakih itu sendiri. 7. Pura Besakih Pura Besakih terdiri dari 7 mandala utama. Penataran Agung ada di man dala ke-2. Pelinggih Kongco ada di Mandala ke-4. Lokasi pesraman agung besakih yang merupakan pesraman ida maharsi markhandeya berada di mandala ke-3, 4, 5. Makanya di mandala ke-5 ada pelinggih meru tumpa ng tiga yang merupakan tempat duduk ida maharsi markhandeya pada waktu memberikan tuntunan kepada para murid beliau di pesraman besa kih. Akan tetapi tempat pertapaan ida maharsi markhandeya berada di Mandala ke-7 yang merupakan mandala tertertinggi di Pura Besakih. Di mandala ini tidak terdapat pelinggih apapun cuma tanah. Pada waktu itu jikalau ida rsi selesai bertapa di puncak gunung agung maka beliau kemud ian akan turun ke pesraman besakih. akan tetapi sebelum beliau memberi kan tuntunan kepada para murid beliau, biasanya beliau bersemedi dulu sebentar di mandala ke-7 ini untuk meresapi petunjuk-petunjuk yang be liau dapat pada waktu bertapa di puncak gunung agung. 8. Pura Puncak Sabang Daat (Puakan) Setelah ida selesai menanam panca datu di besakih serta telah merasa cukup pembekalan yang beliau berikan kepada para murid ida atau pengikut2 ida lewat Pesraman besakih.           
                Kemudian beliau memulai per jalanan beliau untuk benar-benar membuka pulau bali. Dimana sebe lum ida bisa membuka bali secara menyeluruh untuk bisa ditempati oleh para pengikut beliau maka beliau kemudian bertapa di suatu tem pat yang sekarang ini dikenal dengan Puakan. Jadi di tempat inilah Ida maharsi markhandeya ngeruak (mulai membuka hutan bali) tanah Bali supaya bisa ditempati dan berhasil membuka hutan bali unt uk di pake sawah, kebun, rumah dll. Setelah selesai bertapa kemudian beliau membuat pesraman agung yang mana tempatnya sekarang diken al dengan nama Pura Gunung Raung Bali. 9. Pura Gunung Raung (Bali) Di tempat ini Ida maharsi markhandeya mengada kan rapat dengan para pengikutnya terutama untuk menindaklanjuti proses pembukaan tanah bali secara menyeluruh. Di tempat ini pula beliau mulai mengklasifikasikan para pengikut beliau sesuai dengan keahlian masing-masing. Pemecahan pengikut sesuai dengan keahlian inilah yang kelak kemudian hari di bali dikenal dengan sebutan para bhujangga, pasek , pande, dukuh dll. Dan inilah yang menjadi cikal bakal orang bali mule (bali aga). Sehingga dengan ini bagi siapapun dijagat bali kehilangan kawitan maka mereka bisa tangkil ke Pura Gunung Raung dan Puncak Sabang Daat, karena di tempat inilah pertama kali ida maharsi markhandeya mengklasifikasikan para peng ikut beliau (orang bali mule/bali aga) menjadi klan-klan yang di bali sekarang terkenal dengan bhujangga, pasek, pande, dukuh. Setelah semua persiapan cukup maka para pengikut beliau di pecah dan disebar ke seluruh wilayah bali disesuaikan dengan keahlian. Tempat-tempat yang menjadi pemukiman orang bali mula ini biasany Dekat dengan daerah pegunungan dan dekat dengan sumber mata air. Maka berkembanglam peradaban manusia di bali. Dimulai dari Batur, Tamblingan, beratan, buyan dll. 10. Pura-Pura di seputaran Payangan dan Ubud Setelah selesai mengajarkan cara bercocok tanam, cara hidup berso Sialisasi, cara bertahan hidup dll kemudian ida maharsi makhandeya Melanjutkan perjalanan ida di seputaran daerah yang sekarang di Kenal dengan payangan, ubud dan seputarannya. Diseputaran tempat Ini beliau membuat pura-pura berikut ini : #Pura Campuhan Ubud #Pura Dalem Pingit #Pura Puncak Payogan #Pura Dalem Suargan #Pura Murwa Bumi #Pura Gunung Lebah 11. Pura-Pura di seputaran Batur Setelah memecah pengikut-pengikut beliau ke seluruh pelosok wil Ayah bali kemudian ida maharsi markhandeya melanjutkan perjalan An ida ke daerah batur. Jejak langkah maharsi markhandia di batur Dapat ditemukan di pura-pura Berikut ini : # Pura Dalem Balingkang Di Komplek pura dalem balingkang ini terdapat salah satu pura Yang bernama pura bhujangga. Sementara di pura penataran Agung dalem balingkang meskipun tidak ada pelinggih bhujangga Akan tetapi yang berstana disana adalah ratu gede bhujangga lingsir # Pura Ulun Danu Songan (Padma tiga) Di pura ini meskipun tidak terdapat tulisan pura atau pelinggih ida Bhujangga akan tetapi dari bentuk bangunan yaitu padma tiga seba Gai simbol pemujaan tri murti yang diajarkan oleh ida maharsi mar Kandia dibali maka pura ini merupakan salah satu peninggalan ida Rsi. # Pura Air Hawang (Dibawah Puncah Gunung Abang)
                 Sebagaimana yang tercantum dalam lontar batur kelawasan petak Dinyatakan bahwa silsilah bhujangga di bali dimulai dari batur. Te Patnya di gunung abang sebagai stana Hyang Sunia Tawang. Akan Tetapi sangat ironi sekali karena hampir sebagian besar warga bhu Jangga di bali tidak tahu akan pura ini. Pada saat letusan gunug ba Tur yang kesekian, pura ini terkena dampaknya sehingga kemudian Para semeton bhujangga yang ada ditempat ini kemudian mengung Si ke atas (kalanganyar). Karena lama tidak bisa kembali ke bawah Maka mereka membuat pengayatan ke pura air hawang dan gunung Abang, dimana pura ini yang sekarang terkenal dengan nama pura Tuluk Biyu. # Pura Tuluk Biyu Batur Sebagaimana telah diceritakan di atas, pura ini dibuat sebagai pemu Jaan betara di gunung abang. Di dalam pura ini terdapat pelinggih Yang sangat dipingitkan oleh para pengempon pura yaitu berupa 2 buah Meru tumpang tiga yang merupakan stana dari ida ratu Bhujangga sakti dan ida ratu bhujangga luwih. # Pura Jati Pura Jati batur merupakan pura yang paling disakralkan oleh masya Rakat batur. Bahkan ada kepercayaan tidak tertulis yang menyata Kan bahwa tirta pura jati merupakan tirta tersuci di dunia. Di pura Ini di puja pelinggih utama berupa meru tumpang tiga yang merupa Kan stana dari ida ratu bhujangga sakti. Dalam beberapa lontar di nyatakan bahwa ida yang berstana di pura ini adalah ida rsi sunia hening yang merupakan orang tua dari mpu kuturan dan mpu bera dah (untuk cerita mpu kuturan dan mpu beradah sebagai rsi bhujang ga akan penulis ceritakan di lain kesempatan). # Pura Tampurhyang Jikalau kita naik ke gunung batur atau kita melihat gunung batur dr Jalan raya kintamani atau jalan raya batur-singaraja maka di sekian Ratus hektar hamparan bebatuan hitam bekas larva gunung batur Yang berada di kaki gunung batur dan sekitarnya kita akan melihat Keajaiban dimana diantara sekian ribu hektar hamparan hitam Kita akan melihat sekitar 500 m2 hutan hijau. Tempat inilah yg Disebut dengan tampurhyang yang merupakan lokasi pura batur Yang pertama. Dari 26 kali letusan gunung batur, sekalipun tem Pat ini tidak pernah kena larva (sungguh suatu keajaiban). Padahal Tempat ini tepat berada di barat laut kaki gunung batur. Ditempat Ini tidak ada pura akan tetapi inilah titik pusat Waisnawa di batur. Setelah gunung batur meletus yg kesekian kali, akhirnya para Penduduk desa batur kuno mengungsi ke atas. Karena desa mereka Yang lama tidak bisa ditempati lagi akhirnya mereka membuat per Mukiman yang baru yang sekarang ini dikenal dengan lokasi pura Batur yang baru yaitu di kalanganyar. #
                   Puru Ulun Danu Batur (kalanganyar) Pura ini terletak di pinggir jalan raya Bangli-Singaraja. Lokasi pura Ini bersebelahan dengan Pura Tuluk Biyu Batur. Di tempat ini di Puja ida sesuhunan hyang betari sakti dewi danu. Pura ini terbagi Menjadi beberapa kompleks pura, dimana di sebelah kanan (selatan ) penatara utama terdapat kompleks pura yang mana salah satu pe Linggih utamanya adalah meru tumpang tiga sebagai stana ida ratu Bhujangga Sakti. # Pura Bukit Mentik Pura Bukit Mentik merupakan salah satu pura yang catur loka pala Gunung batur dan danu batur. Di tempat ini dipuja ida ratu ayu Sembah suhun. Di Natar utama pura ini, di bagian gunung rata yg Paling tinggi terdapat komplek pura, yang mana pelinggih utama Nya berupa meru tumpang tiga sebagai stana ida Sanghyang Bhujangga Sakti. # Pura pucak penulisan/ Pucak Panarajon Pura ini merupakan pura pemujaan raja-raja waisnawa di bali. Di Pura ini terdapat komplek pura yang dinamakan pura Bhujangga # Pura Puncak Bukit Indrakila di pura ini terdapat 2 meru tumpang dua berhadap-hadapan dimana disana tertulis nama pelinggih dalam aksara bali yang jika diterjemah kan menjadi Pelinggih Bhujangga. Akan tetapi begitu ditanya kepada para pemangku disana mereka bilang mereka tidak tahu siapa yang berstana disana. Sangat ironi sekali. bagaimana jika suatu saat plang nama pelinggih ini tintanya kabur. Maka akan kabur lagi jejak perjalanan ida betara rsi yang sekaligus akan menambah daftar beban para saudara bhujangga yang ada kaitan dengan pura ini. mudah2an setelah membaca tulisan ini ada saudara yang terketuk untuk hadir disana. # Pura Puncak Bukit Sinunggal pura bukit sinunggal adalah pura stana Ida Betara Rsi Manik Asta Gina. Beliau adalah satu rsi bhujangga yang berbuat di bali. Beliau bertugas memegang Cupu Manik Asta Gina. Dengan kata lain beliau bertugas memegang harta berana jagat. Disinilah sepatutnya para keluarga bhujangga memohon / berdoa supaya diberi kelancaran dan kemudahan dalam mencari rejeki di bali. SEJARAH PURA RAMBUT SIWI Cerita ini dimulai ketika ida maharsi markandia bertapa di gunung raung jawa. Pada waktu beliau bertapa digunung raung jawa, beliau melihat sinar suci yang berasal dari suatu daerah (yang nantinya dikenal dengan bali). Singkat cerita, sesuai dengan petunjuk maka kemudian beliau menelusuri ke tempat sinar itu muncul. Kemudian berangkatlah beliau menuju ke bali. Perjalanan pertama beliau dari jawa menuju bali adalah masuk lewat pantai (yang sekarang menjadi lokasi pura rambut siwi). Sesampainya ditempat ini kemudian beliau beristirahat beberapa hari sambil beliau mencari petunjuk kearah mana beliau harus berjalan. Selama beristirahat di tempat ini, beliau senang duduk di sebuah tebing yang agak menjorok ke laut. Kenapa beliau senang duduk di tempat ini karena dari tempat ini beliau bisa mengamati keseluruhan hamparan pesisir pantai barat bali. Dari tempat ini akan bisa dilihat jika ada perahu atau orang yang mau masuk ke bali lewat pantai bali barat. Selama bertapa beberapa pekan di lokasi tebing ini (posisi tebing ini sekarang ada di tebing depan pura melanting yang ada dikomplek pura rambut siwi), beliau mendapat petunjuk dari sanghyang jagatnata (alam semesta) tentang pulau bali. Isi petunjuknya adalah pulau bali merupakan pulau yang sangat suci tempat stana para dewa-dewi, hal inilah yang menyebabkan pulau ini susah bisa dimasuki/didiami oleh manusia, oleh karena ida maharsi markhandia telah diundang sebagai orang pertama yang diijinkan masuk kebali untuk menata pulau bali, maka untuk melindungi pulau bali dari orang-orang yang mencoba mengikuti perjalanan ida maharsi markandia, maka sanghyang jagatnata(alam semesta) menitahkan ida rsi untuk membuat pelindung/benteng dipantai bali barat sehingga hanya orang-orang yang mendapatkan izin dari alam bali saja yang akan bisa masuk ke bali. Kemudian ida rsi bertapa di tebing ini memuja dewa wisnu dan dewa baruna yang menguasai lautan.
                  Karena ketulusan dan ketekunan tapa beliau akhirnya doa ida rsi markandea dikabulkan oleh para dewa yang berstana dilautan. Sekonyong-konyong, disepanjang tengah laut barat bali kemudian muncul jaring-jaring seperti jaring net untuk bola voli yang bersinar seperti nyala lidah api. Jaring-jaring ini terbuat dari rumput laut (dibali dikenal dengan bulung rambut) yang dijalin/dirangkai seperti jaring. Jaring ini berfungsi sebagai filter untuk orang yang akan masuk ke bali. Jika orang pantas masuk ke bali maka jaring net ini akan turun ke laut sehingga orang bisa masuk ke bali. Jika orang tidak pantas masuk ke bali maka jaring ini akan naik ke atas sehingga akan terjadi fenomena dilautan sehingga orang/perahu yang mencoba masuk tidak akan bisa menyeberang. Fenomena inilah yang kemudian membuat ida rsi markhandia menamakan tempat ini sebagai Rambut Siwi yang artinya jalinan/untaian rumput laut yang berbentuk seperti rambut. Karena kekuatan tapa dalam melindungi laut barat bali inilah maka ida maharsi markandia kemudian diberi gelar Sanghyang Baruna Gni. Dan laut dipantai bali barat diberikan nama Dalem Segara Gni. Saya bercerita ini bukanlah suatu karangan akan tetapi kisah nyata. Jika ada cerita tentang perjalanan ida peranda sakti wawu rauh terkait dengan rambut siwi, itu tidak lebih seperti orang jaman sekarang yang melakukan tirta yatra ke suatu pura. Dan sesuai dengan babad dwijendra tattwa yang mengisahkan perjalanan peranda sakti wawu rauh, di dalam babad itu jelas diceritakan bahwa ketika peranda sakti wawu rauh sampai ke lokasi pura rambut siwi sekarang, saat itu sudah ada pura disana itulah pura peninggalan ida maharsi markhandia. Mudah-mudahan dengan cerita ini para semeton warga bhujangga waisnawa tidak akan lewat begitu saja ketika melewati pura rambut siwi. PURA TLEDU NGINYAH Setelah selesai dengan tugasnya untuk membentengi/ membuat perlindungan di pintu masuk bali barat (sepanjangan pantai bali barat) di pura rambut siwi, kemudian ida rsi markhandia melanjutkan perjalanan kea rah timur.
                      Singkat cerita sampailah beliau kesuatu tempat yang strukur geografis tempatnya sangat mirip dengan lokasi pertapaan beliau di gunung raung jawa yang sekarang ini dikenal dengan Gumuk Kancil (gunung Kecil). Tempat ini zaman sekarang dikenal dengan Gumbrih. Tempat yang mirip dengan gumuk kancil jawa itu sekarang dikenal dengan tledu nginyah. Tledu nginyah adalah suatu tempat dengan struktur tanah yang seperti bukit kecil dimana ditempat ini pada zaman dahulu banyak didiami oleh hewan kalajengking (tledu). Sesampainya diitempat ini ida maharsi markhandia teringat dengan tempat pertapaan beliau dijawa, sehingga kemudian ida beristirahat dan bertapa dipuncak bukit kecil ini untuk memohon petunjuk kemana beliau harus melanjutkan perjalanan. Selama berdiam ditempat ini ida maharsi markhandia mengambil seorang istri yang nantinya akan dikenal dengan I ratu niang bhujangga ratih / ida ratu niang bhujangga sakti yang berstana di pura beji pinggir sungai. Dari istrinya ini beliau memiliki 2 anak perempuan. Wanita yang lebih tua nanti akan dikenal dengan ida rsi kania widya padmi yang berstana di pura bhujangga sakti, bunut bolong. Anak yang bungsu dikenal dengan Ratu Ayu Pasupati yang berstana dipura segara (yang sementara ini dikenal dengan pura tledu nginyah yang berlokasi di pinggir laut). Selama tinggal di tledu nginyah ini, ida maharsi markhandia membangun sebuah pesraman dimana lokasi pesraman di bagi menjadi 2 tempat. Tempat yang pertama adalah di lokasi pura segara yang ada dipinggir pantai yang dinamakan dengan pesraman agung. Fungsi tempat ini adalah sebagai tempat penyeleksian awal bagi orang-orang yang mau menjadi murid ida rsi. Di tempat ini beliau mengajarkan tentang ilmu agama, ilmu kanuragan serta ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Jika murid-murid bisa lulus menuntut ilmu dari pesraman agung ini maka kemudian para murid yang lulus ini akan dikirim ke tempat pesraman berikutnya yaitu yang disebut dengan pesraman tledu nginyah. Untuk bisa menjangkau tempat ini maka para murid yang telah lulus akan disuruh berjalan menelusuri pinggiran sungai, sampai akhirnya sampai dilokasi batu besar yang ada lobang seperti ketu. Tempat ini sekarang dikenal dengan beji pura tledu nginyah. Sebelum para murid menghadap ida rsi markhandia di peyogan tledu nginyah maka sesampainya dilokasi beji ini para murid terlebih dahulu akan membersihkan diri/melukat. Setelah bersih barulah beliau menghadap ke ida rsi di peyogan tledu nginyah. Peyogan tledu nginyah ini merupakan tempat ida rsi markhandia menyempurnakan pelajaran dan sekaligus memberikan cap kelulusan kepada para murid-murid beliau di seputaran daerah yang sekarang dikenal dengan jembrana. Di tempat ini juga beliau pada perjalanan kedua beliau kebali, dipakai sebagai tempat rapat/ bertemu dengan para pendeta yang sudah beliau sebar pada waktu perjalanan pertama ke bali. Setelah sekian lama tinggal di tledu nginyah ida rsi markhandea belum mendapat petunjuk yang jelas mau ke arah mana beliau akan meneruskan perjalanan.
                 Selama di tledu nginyah beliau hanya mendapatkan petunjuk yang isinya seperti berikut : Jika kamu ingin melihat daerah bali dengan lebih jelas maka naiklah kamu ke puncak bukit yang ada di hulu sungai di bawah ini. Dengan mengikuti petunjuk ini maka kemudian ida maharsi markhandia melanjutkan perjalanan menyusuri pinggiran sungai sampai ke hulu. Sesampainya dihulu sungai kemudian beliau melihat sebuah bukit. Bukit inilah yang jaman sekarang dikenal dengan Gunung Bhujangga yang terletak diperbatasan antara Negara dan buleleng, tepatnya di daerah sepang buleleng. Di tempat inilah kemudian ida rsi markhandia bersemedi. Dari hasil semedi beliau ditempat ini, barulah ida bisa melihat gambaran pulau bali secara keseluruhan lewat alam niskala. Dari tempat inilah ida maharsi bisa melihat lokasi munculnya sinar besar yang mengundang beliau datang kebali. Dimana lokasi sinar itu adalah taro. 
                   Jadi gunung bhujangga inilah sebenarnya yang merupakan tempat paling awal ida rsi markhandia memulai perjalanan beliau membuka pulau bali. Karena di gunung bhujangga ini beliau mengawali pembukaan pulau bali maka di tempat ini pulalah beliau berpulang ke alam sana atau moksa. Jadi gunung bhujangga merupakan pertemuan tempat awal dan akhir kehidupan ida maharsi markhandia di Bali. SUMBER : GURU MADE DWIJENDRASULASTRA

Jejak Panjang Wangsa Bhujangga Waisnawa di Bali Jejak Panjang Wangsa Bhujangga Waisnawa di Bali

                  Sekte Waisnawa dan Tri Sadaka Menurut D r. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa. Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda.
              Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya. Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu. Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga. Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar.        
                     Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana. Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria. Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya. 
                Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. 
                 Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga. Nah, terkait dengan Bujangga Waisnawa sampai masuk ke Bali, sejarahnya tentu harus dicari lagi. Ternyata, walaupun tidak khusus juga terdapat di buku Leluhur Orang Bali karangan I Nyoman Singgih Wikarman tentang perjalanan Maharsi Markandya ke Bali. Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah maharsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal. Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu. Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali. Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu.
              Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih. Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak. Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung. Di sebuah bukit tempatnya beryoga juga didirikan sebuah pura yang kemudian dinamai Pura Payogan, yang letaknya di Campuan Ubud. Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah. Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu. Sebagai Rohaniawan (Pandita), orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa. Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan Walisumpah ke atas. Karena sang pendeta mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang masih keturunan Rsi Markandya, di masa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari Keturunan Bujangga Waisnawa. 
                  Pada masa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Rsi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh Mpu Jagathita. Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya (1077 M), yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andonaamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa. Demikianlah seterusnya. Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana Beliau selaku Acarya (Guru) telah mengawini sisyanya sendiri yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum bunuh. Tapi Beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan. Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Rsi Markandya.
                    Setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih Brahmana Siwa dan Budha. Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana. Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai pembimbing masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali aga/mula itu, selalu ada palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bhujanga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada palinggih itu. Orang-orang Bali aga/mula, cukup nuhur tirtha (mohon air suci), terutama tirtha pangentas melalui palinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siwa. Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya sekarang telah tersebar di seluruh Bali. Pura Padarmannya di sebelah Timur Penataran Agung Besakih, sebelah Tenggara Padharman Dalem. Demikian juga pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung Kabupaten Klungkung, Batubulan Kabupaten Gianyar, Jatiluwih Kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi. Begitulah Maharsi Markandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar Agama Hindu pertama di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan Dharma Kawikon dengan gelar Ida Rsi Bujangga Waisnawa.